Selamat Datang di My Blog << Waroeng Alam is a Waroeng-e Alam >>

Thursday, March 29, 2018

Kerajaan Islam Cirebon Beserta Tradisi Islam Sunda


KERAJAAN ISLAM CIREBON
Kerajaan Cirebon merupakan sebuah kerajaan bercorak Islam ternama yang berasal dari Jawa Barat. Kesultanan Cirebon berdiri pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan Cirebon juga merupakan pangkalan penting yang menghubungkan jalur perdagangan antar pulau.
Kesultanan Cirebon berlokasi di pantai utara pulau Jawa yang menjadi perbatasan antara wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, ini membuat Kesultanan Cirebon menjadi pelabuhan sekaligus “jembatan” antara 2 kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan Sunda.
Sehingga Kesultanan Cirebon memiliki suatu kebudayaan yang khas tersendiri, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
 
Sejarah Kerajaan Cirebon
Keraton Kasepuhan,
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon mulanya adalah sebuah dukuh kecil yang awalnya didirkan oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah perkampungan ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran).
Dinamakan Caruban karena di sana ada percampuran para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, latar belakang dan mata pencaharian yang berbeda. Mereka datang dengan tujuan ingin menetap atau hanya berdagang.
Karena awalnya hampir sebagian besar pekerjaan masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan lainnya, seperti menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai yang bisa digunakan untuk pembuatan terasi. Lalu ada juga pembuatan petis dan garam.
Air bekas pembuatan terasi inilah akhirnya tercipta nama “Cirebon” yang berasal dari Cai(air) dan Rebon (udang rebon) yang berkembang menjadi Cirebon yang kita kenal sekarang ini.
Karena memiliki pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon akhirnya menjadi sebuah kota besar yang memiliki salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa.
Pelabuhan sangat berguna dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan seluruh Nusantara maupun dengan negara lainnya. Selain itu, Cirebon juga tumbuh menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Pendirian dan Silsilah Raja Kerajaan Cirebon
Pangeran Cakrabuana (1430 – 1479) merupakan keturunan dari kerajaan Pajajaran. Ia adalah putera pertama dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan istri pertamanya yang bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang(pangeran Cakra Buana) meiliki dua orang saudara kandung, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak laki-laki tertua, seharusnya ia berhak atas tahta kerajaan Pajajaran. Namun karena ia memeluk agama Islam yang diturunkan oleh ibunya, posisi sebagai putra mahkota akhirnya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa (anak laki-laki dari prabu Siliwangi dan Istri keduanya yang bernama Nyai Cantring Manikmayang).
Ini dikarenakan pada saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Kerajaan Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.
Pangeran Walangsungsang akhirnya membuat sebuah pedukuhan di daerah Kebon Pesisir, mendirikan Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) membuat Dalem Agung Pakungwati serta membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.
Dengan demikian, Pangeran Walangsungsang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon. Pangeran Walangsungsang, yang telah selesai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman. Ia lalu tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yang memerintah kerajaan dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon. Pendirian kesultanan Cirebon memiliki hubungan sangat erat dengan keberadaan Kesultanan Demak.









Tradisi Islam di Sunda

1. Upacara Mengandung Tujuh Bulan/Tingkeban
Upacara Tingkeban adalah upacara yang diselenggarakan pada saat seorang ibu mengandung 7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi yang di dalam kandungan dan ibu yang melahirkan akan selamat. Tingkeban berasal dari kata tingkeb artinya tutup, maksudnya si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah besar, hal ini untuk menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan.
Upacara ini biasanya diadakan pengajian, dengan membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman, dan surat Maryam. Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil, dan yang utama adalah Rujak Kanistren (rujak buah) yang terdiri dari 7 macam buahbuahan. Ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin seorang Paraji (seorang ahli medis tradisional yang menangani proses melahirkan) secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada guyuran ketujuh dimasukan belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok.
Hal ini dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya mendapatkan keselamatan dunia-akhirat. Sesudah selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju ke tempat rujak kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu menjual rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam upacara itu, dan mereka membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin.
Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan mandi seperti air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dsb. Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang empat atau simpang tiga. Setelah rujak kanistren habis terjual selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.


2. Upacara Reuneuh Mundingeun
Upacara Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung  lebih dari  sembilan bulan, bahkan ada yang sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga, perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun, seperti munding atau kerbau yang bunting.
Upacara ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua itu segera melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan dituntun oleh Indung Beurang (tenaga tradisional dalam bidang perawatan ibu dan anak) sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau. Kalau tidak ada kandang kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Perempuan yang hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan dan disuruh masuk ke dalam rumah.
Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang dilaksanakan.

3. Upacara Memelihara Tembuni
Tembuni/placenta dipandang sebagai saudara bayi karena itu tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus diadakan upacara waktu menguburnya atau menghanyutkannya ke sungai.
Bersamaan dengan bayi dilahirkan, tembuni (placenta) yang keluar biasanya dirawat dibersihkan dan dimasukan ke dalam pendil dicampuri bumbu-bumbu garam, asam dan gula merah lalu ditutup memakai kain putih yang telah diberi udara melalui bambu kecil (elekan). Pendil diemban dengan kain panjang dan dipayungi, biasanya oleh seorang Paraji untuk dikuburkan di halaman rumah atau dekat rumah. Ada juga yang dihanyutkan ke sungai secara adat. Upacara penguburan tembuni disertai pembacaan doa selamat dan menyampaikan hadiah atau tawasulan kepada Syaikh Abdulkadir Jaelani dan ahli kubur. Di dekat kuburan tembuni itu dinyalakan cempor/pelita sampai tali pusat bayi lepas dari perutnya. Upacara pemeliharaan tembuni dimaksudkan agar bayi itu selamat dan kelak menjadi orang yang berbahagia.

4. Upacara Gusaran
Gusaran adalah meratakan gigi anak perempuan dengan alat khusus. Maksud upacara Gusaran ialah agar gigi anak perempuan itu rata dan terutama agar nampak  bertambah cantik. Upacara Gusaran dilaksanakan apabila anak perempuan sudah berusia    tujuh tahun. Jalannya upacara, anak perempuan setelah didandani duduk di antara para undangan, selanjutnya membacakan doa dan solawat kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian Indung beurang melaksanakan gusaran terhadap anak perempuan itu, setelah selesai lalu dibawa ke tangga rumah untuk disawer (dinasihati melalui syair lagu). Selesai disawer, kemudian dilanjutkan dengan makan-makan. Biasanya dalam upacara Gusaran juga dilaksanakan tindikan, yaitu melubangi daun telinga untuk memasang anting-anting, agar kelihatannya lebih cantik lagi.

5. Upacara Sepitan/Sunatan.
Upacara sunatan/khitanan dilakukan dengan maksud agar alat vitalnya bersih dari  najis. . Anak yang telah menjalani upacara sunatan dianggap telah melaksanakan salah satu syarat utama sebagai umat Islam. Upacara Sepitan anak perempuan diselenggarakan pada waktu anak itu masih kecil atau masih bayi, supaya tidak malu.
Upacara sunatan diselenggarakan biasanya jika anak laki-laki menginjak usia 6 tahun. Dalam upacara sunatan selain Paraji sunat, juga diundang para tetangga, handai tolan dan kerabat. Pada pelaksanaannya pagi-pagi sekali anak yang akan disunat dimandikan atau direndam di kolam sampai menggigil (kini hal semacam itu jarang dilakukan lagi berhubung teknologi kesehatan sudah berkembang), kemudian dipangku dibawa ke halaman rumah untuk disunat oleh Paraji sunat (bengkong), banyak orang yang menyaksikan di antaranya ada yang memegang ayam jantan untuk disembelih, ada yang memegang petasan dan macam-macam tetabuhan sambil menyanyikan marhaba.
Bersamaan dengan anak itu disunati, ayam jantan disembelih sebagai bela, petasan disulut, dan tetabuhan dibunyikan. Kemudian anak yang telah disunat dibawa ke dalam rumah untuk diobati oleh Paraji sunat. Tidak lama setelah itu para undangan pun berdatangan, baik yang dekat maupun yang jauh. Mereka memberikan uang/nyecep kepada anak yang disunat itu agar bergembira dan dapat melupakan rasa sakitnya. Pada acara ini ada pula yang menyelenggarakan hiburan seperti wayang golek, sisingaan atau aneka tarian.

6. Cucurak
Biasanya, masyarakat Sunda rutin melakukan kegiatan makan bersama dan saling bertukar makanan atau yang sering disebut dengan Cucurak. Cucurak berasal dari kata curak-curak yang diartikan dengan kesenangan atau suka-suka. Sebenarnya cucurak tidak selalu dilakukan saat menjelang Ramadhan, cucurak juga bisa dilakukan ketika kita mendapatkan berkah seperti lulus sekolah, naik pangkat, dll. Namun dalam adat Sunda, cucurak lebih sering dilakukan untuk menyambut datangnya Ramadhan.
Acara cucurak biasanya dilakukan oleh kaum ibu yang memasak makanan yang berbeda-beda. Setelah itu, makanan dikumpulkan di masjid terdekat untuk dibagikan dan dimakan bersamasama. Tetapi, cucurak tidak selalu dilakukan dengan cara seperti itu. Orang-orang yang makan bersama dengan niat menyambut datangnya bulan Ramadhan juga sudah dapat dikatakan sebagai cucurak. Niat menyambut Ramadhan juga harus selalu diingat dalam cucurak, sebab jika hal itu dilupakan, biasanya kita akan makan sebanyak-banyaknya dan lupa dengan niat kita. Cucurak dilakukan untuk menjalin silaturrahmi dan saling memaafkan antar masyarakat.

Selain itu, cucurak juga merupakan bentuk rasa syukur terhadap rejeki yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Sebagai tradisi unik dari Sunda, jangan sampai kegiatan cucurak seperti ini hilang atau dilupakan, karena ini merupakan salah satu cara untuk menjaga kerukunan antar masyarakat. Bangga dan lestarikanlah tradisi-tradisi daerah yang telah lama dijaga oleh nenek moyang kita, agar Indonesia menjadi negara yang bukan hanya kaya dengan sumber daya alamnya, tetapi juga kaya akan tradisi-tradisinya.




0 comments:

Post a Comment