Menurut Irawati (2007) etika lingkungan merupakan cabang etika aplikasi yang memberikan perhatian landasan moral bagi pelestarian dan perbaikan lingkungan. Dengan demikian, dalam rangka kegiatan pertambangan batubara terbuka maka perusahaan maupun segenap manajemen harus berlandaskan pada etika lingkungan agar kegiatan pertambangan berwawasan lingkungan (green mining). Etika lingkungan muncul disebabkan perkembangnya isu-isu lingkungan terutama meningkatnya masalah pemanasan global (global warming). Pada tahun 1970-an dan 1980-an (Irawati, 2007) menyatakan berkembangnya etika lingkungan yang merupakan studi filsafat yang disebabkan oleh kegiatan pembangunan yang menyebabkan munculnya gas karbon dioksida (CO2), gas metana (CH4), dan gas lain akibat kegiatan pertambangan batubara, industri, transportasi, kegiatan perkotaan, dan kegiatan lain yang menimbulkan dampak lingkungan.
Debat masalah aliran etika lingkungan sudah sejak lama terjadi yang masing-masing punya prinsip atau kepentingan tersendiri. Pada dasarnya, aliran atau teori tentang etika lingkungan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) teori (Irawati, 2007), yaitu :
1. Teori Antroposentris
Dalam memanfaatkan lingkungan biotik (hewan, tumbuhan, dan mikro organisme) dan lingkungan abiotik (tanah, air, dan udara) maka manusia merupakan yang dominan. Manusia didalam kelangsungan hidupnya punya kebutuhan baik sebagai individu, organisasi, dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti : sandang, pangan, dan papan. Manusia berinteraksi dengan lingkungannya dan manusia pula yang dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan tersebut. Pada kenyataannya manusia dengan segala kebutuhannya menyebabkan lingkungan baik biotik maupun abiotik menjadi rusak (Santoso, 2000).
Pengaruh manusia dalam merusak lingkungan biotik dan lingkungan abiotik ini sangat besar dan ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ruum Ayat 41 (Qs. 30 : 41) yang berbunyi “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Dari ayat tersebut di atas terlihat bahwa kerusakan yang terjadi adalah ulah manusia dan yang lebih penting sekarang ini hubungan manusia dengan Allah; hubungan manusia dengan manusia, hewan, dan tumbuhan; dan hubungan manusia dengan tanah, air, dan udara semakin menipis. Oleh karena itu, untuk menjaga lingkungan yang lebih baik maka keterkaitan hubungan tersebut perlu dipererat lagi sehingga Allah akan sayang dengan kita maka lingkungan kita akan lebih baik di masa yang akan datang (Sarvestani and Shahvali, 2008). Pengaruh ilmu agama, ilmu sosial, ilmu budaya, ilmu ekonomi, dan ilmu hukum sangat diperlukan untuk mengembangkan nilai, etika, dan moral manusia sebagai sistem kontrol. Ilmu-ilmu tersebut merupakan kontrol manuisa untuk berinteraksi dengan lingkungan biotik dan lingkungan abiotik agar memanfaatkan lingkungan tersebut secara arif dan bijaksana.
2. Teori Non-antroposentris
Teori yang dikembangkan berdasarkan antroposentris menyebabkan manusia melakukan gangguan dan pengrusakan terhadap lingkungan biotik dan lingkungan abiotik dan bahkan semakin meningkatnya permasalahan lingkungan. Teori non-antroposentris (Stenmark, 2002) juga berkembang dengan tinjauan atau fokus pada non-antroposentris, seperti : ekstensionis, zoo-centris, biosentris, dan ekosentris. Pandangan ekstensionis dalam teorinya mempertimbangkan semua makhluk hidup sangat berperan dalam memelihara lingkungan biotik dan lingkungan abiotik karena makhluk hidup punyai nilai, etika, dan moral. Pandangan zoo-centris melihat semua makhluk hidup sudah cukup untuk memelihari lingkungannya, tetapi perlu mengembangkan syarat-syarat kecukupan tersebut. Pandangan biosentris melihat bahwa makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk hidup yang merupakan kriteria pertimbangan nilai, etika, dan moral untuk sebuah tujuan hidup. Manusia, hewan, tumbuhan, dan mikro organisme berhak untuk hidup, berkembang, dan berproduksi. Pandangan ekosentris telah melihat bahwa pandangan ekstensionis, zoo-centris, dan biosentris belum melihat keterkaitan antara lingkungan biotik dengan lingkungan biotik, keterkaitan antara lingkungan biotik dengan lingkungan abiotik, serta antara lingkungan abiotik dengan lingkungan abiotik. Pandangan ekosentris memandang interaksi antar lingkungan tersebut sangat dibutuhkan sehingga kerusakan lingkungan dapat segera diatasi dan mengkritik bahwa manusia selalu mendominasi ala mini yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada alam tersebut (Cafaro, 2002).
3. Teori Campuran (mixed)
Pandangan teori campuran (mixed) melihat harus ada pertimbangan yang logis dalam pemanfaatan lingkungan. Manusia sebagai makhluk yang sempurna sangat logis memanfaatkan lingkungan untuk kebutuhan hidupnya dan juga makhluk hidup lainnya punya kepentingan yang sama untuk hidup, berkembang dan berproduksi serta hak untuk hidup menjadi prioritas primer (hak untuk hidup) mempunyai prioritas atas kesejahteraan lingkungan, dan kesejahteraan lingkungan memiliki prioritas atas hak asasi manusia yang sekunder (seperti hak atas properti).
PENDEKATAN ETIKA LINGKUNGAN
Dalam penjelasan di atas bahwa ekologi merupakan dasar ilmu lingkungan yang membahas hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungan yang dapat dibedakan sebagai makhluk hidup (lingkungan biotik) yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikro organisme serta sebagai lingkungannya (lingkungan abiotik) yang terdiri dari tanah, air, dan udara yang akan berkembang sebagai ilmu terapan. Berdasarkan definisi tersebut maka ilmu terapan (applied science) dapat didefinisikan sebagai bidang ilmu yang berkaitan dengan seni atau ilmu yang terapkan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan yang praktis. Dengan demikian, ilmu terapan yang dimaksud dalam ilmu lingkungan adalah bidang ilmu yang berkaitan dengan lingkungan biotik (manusia, hewan, tumbuhan, mikro organisme dan lingkungan abiotik (air, tanah, dan udara). Ilmu terapan mencakup manusia, hewan, tumbuhan, mikro organisme (ilmu biologi), air (hidrologi dan kimia), tanah (geologi dan ilmu tanah), dan udara (ilmu fisika) yang dikontrol (nilai, etika, dan moral) oleh ilmu agama, sosial, budaya, ekonomi, dan ilmu hukum. Permasalahan lingkungan hidup yang terjadi disebabkan oleh manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna yang dibekali akal tentu mempunyai kebebasan berpikir dan memerlukan kebutuhannya. Oleh karena itu, manusia adalah faktor dominan sebagai perusak lingkungan biotik dan abiotik. Dengan ilmu yang dimiliki manusia berusaha di dunia ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang berinteraksi dengan hewan, tumbuhan, tanah, air, dan udara. Dengan demikian pendekatan etika lingkungan dapat dilakukan baik secara deskriptif maupun secara normatif (Petersen, 2006).
NB: Sumber lupa, sudah bersemayam terlalu lama di laptop
Penyusun : Alamudin Zaenuri
Al Khawarzmi dari negeri Ibu Pertiwi
Penyusun : Alamudin Zaenuri
Al Khawarzmi dari negeri Ibu Pertiwi
0 comments:
Post a Comment