PERKEMBANGAN ISLAM PASCA KEMERDEKAAN
I. PENDAHULUAN
Islam datang di Indonesia dengan membawa peradaban baru yang memiliki corak keislaman secara khusus. Beberapa bentuk peradaban Islam mewarnai kehidupan dan pemikiran masyarakat Islam di Indonesia. Peradaban Islam yang dibawa oleh para mubaligh Islam dari Arab diakulturasikan dengan tradisi dan budaya setempat. Akulturasi antara peradaban Islam dan peradaban setempat tersebut menjadi terpadu yang membawa dampak positif bagi perkembangan budaya Islam di Indonesia.[1]
Namun tak dapat kita lupakan begitu saja bahwa Islam berkembang mengalami beberapa hambatan ketika muncul pengaruh Barat, semula kedatangan mereka bermaksud untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Maka seketika itu pula berubah pada hasrat ingin menjajah dan menguasai potensi hasil bumi yang melimpah sehingga menjadi titik awal perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Beberapa organisasi keislaman berdiri untuk menentang kebijakan para kaum koloni tersebut, namun masyarakat pribumi masih terbelakang dengan penggunaan teknologi, pengetahuan serta kemajuan persenjataan sehingga dapat ditaklukan dengan mudah oleh bangsa penjajah. Hingga pada akhirnya Indonesia berhasil memperoleh kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat Indonesia masih berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan tersebut yang diraih dengan derai air mata dan sikap rela berkorban dengan susah payah dalam memperjuangkannya.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, para pemimpin rakyat Indonesia sepakat untuk menerapkan bentuk Republik dalam pemerintahan Indonesia. Sejak awal kebangkitan nasional, posisi agama sudah mulai dibicarakan dalam kaitannya dengan politik atau Negara. Ada dua pendapat yang bertentangan mengenai hal itu. Akhirnya pemerintah mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan masalah tersebut.
II. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, maka dapat kami rumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Perkembangan Islam Pasca Kemerdekaan?
2. Bagaimana Peradapan Islam Dan Negara Pancasila?
3. Bagaimana Peran Islam Dalam Kemerdekaan?
III. PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN ISLAM PASCA KEMERDEKAAN
1. Politik
Sebelum kemerdekaan Partai Islam yang pertama di bangun oleh Umat Islam adalah Sarekat Islam (SI) pada tanggal 11 Nopember 1912 di Solo. Seiring perjalanan SI mulai bermunculan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad dari sayap Modernis dan gejala semakin terorganisasinya golongan Tradisionalis. Selain itu tantangan semakin besar terhadap kepemimpinan SI muncul dari kaum pergerakan kebangsaan yang berideologi nasionalis dan komunis. Ideologi komunisme mulai merembes ke dalam tubuh SI melalui Semaun dan Darsono.[2]
Selain itu sebelum kemerdekaan, Jepang juga memberi perhatian terhadap gerakan dan perkembangan umat Islam, mereka berusaha untuk merangkul Islam, terutama pemimpin-pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok Islam, baik yang berasal Muhammadiyah maupun persantren, dipersatukan, diikutsertakan dalam birokasi, dilatih dalam bidang politik. Pemuda-pemuda Islam, dan kiai-kiai dilibatkan dalam latihan militer, didirikan laskar Hisbullah dan Sabilillah. Sejumlah pemimpin tentara ketika perjuangan revolusi antara lain jenderal Sudirman dan Kasman Singodimejo adalah tokoh Islam yang dilatih Jepang.
Namun menjelang kemerdekaan, kekecewaan segera menimpa kalangan Islam karena jepang mendirikan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan. Di dalam forum penting ini, kalangan Islam tidak terwakili dengan baik dari segi kualitas maupun jumlah anggota yang semuanya diangkat oleh jepang. Secara politik Jepang lebih dekat dengan kaum Nasionalis ketimbang golongan Islam.[3]
Setelah pemerintah mengeluarkan maklumat Nopember 1945 kalangan Islam menyambutnya dengan mengadakan kongres Umat Islam Indonesia selama 2 hari di Yogyakarta. Tanggal 7 Nopember 1945, peserta kongres menyepakati pembentukan Partai Islam yang secara resmi dinamai Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia). Partai inilah yang menjadi tekad untuk menjadikan Partai tunggal Islam diwujudkan dengan cara membentuk dua jenis keanggotaan yang diharapkan dapat menumpang semua elemen masyarakat. Disamping itu Masyumi membentuk anak organisasi dan badan khusus. Didalamnya ada Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII), Sarekat Tani Islam Indonesia (STII), dan Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII). Selain itu Masyumi juga mempunyai organisasi-organisasi pendukung yang secara eksternal bersifat independen. Kelompok ini mencakup Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Pemuda Islam Indonesia (PII).[4]
Dalam perjalanannya Masyumi gagal mempertahankan sebagai Partai Tunggal Islam karena pecahnya persatuan partai. Hal itu ditandai dengan keluarnya Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dari Masyumi setelah berselisih paham mengenai kabinet Amir Syarifudin yang ingin menyertakan Masyumi. Keinginan ini ditolak oleh para pemimpin Masyumi, tetapi pihak PSII malah menentangnya dan memilih untuk menerima tawaran itu.[5] Hal yang sama terjadi lagi pada akhir bulan April 1952 ketika Fraksi Tradisionalis NU menyatakan memisahkan diri, karena penghinaan terbuka yang dilancarkan tokoh-tokoh pembaharu dalam Masyumi terhadap Ulama sebagai kelompok yang tidak ada apa-apanya dan reaksioner membuat para pemimpin NU sakit hati.[6]
Pada hasil pemilu 1955 ternyata tidak membawa perubahan yang lebih baik bagi perjalanan politik nasional. Konflik antara golongan abangan dan santri kian menajam, sebagaimana tercermin dari perdebatan sengit di Dewan Konsituante mengenai keberadaan piagam Jakarta dan Dasar Negara. Konflik di tingkat elit itu berakibat pula pada sulitnya membentuk pemerintahan yang stabil. Persoalan bertambah pelik ketika beberapa daerah melancarkan pemberontakan dengan dalih hubungan yang tak adil antara pusat dan daerah berkenaan dengan distribusi perekonomian Nasional. Kondisi semacam ini merangsang militer untuk mendesak Soekarno agar segera mengumumkan UUD darurat perang demi lembaga keutuhan Negara Republik Indonesia.[7]
Kemudian pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit untuk membubarkan Dewan Konstituante. Sejak saat itu parlementer diganti dengan Demokrasi Terpimpin dan semua anggotanya diangkat oleh Presiden. Kebijakan itu membuat tokoh-tokoh politik Islam mengkritik sistem pemerintahan itu, salah satunya yaitu Masyumi. Sementara NU, PSII dan Perti mengambil langkah akomodatif terhadap kebijakan Soekarno dengan menyatakan dukungannya dan memberikan legitimasi keagamaan atas kiprah politiknya. Ketegangan politik antara Soekarno dan Masyumi berpuncak ketika dikeluarkannya keppres No.200/1960 yang diumumkan pada 17 Agustus 1960. Keppres ini melarang keberadaan Masyumi dan PSI dipentas politik Indonesia, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan separatis PRRI(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958.[8]
Runtuhnya Negara Demokrasi Terpimpin mengakibatkan berakhir pula masa pemerintahan Soekarno, sehingga sejak tahun 1968 berhasil membangun Resim baru yang bernama Orde Baru, yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Dalam masa ini partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) digabung menjadi satu dan diberi nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973, karena MPR hasil pemilu 1971 memutuskan bahwa pemilu Orba selanjutnya akan diikuti hanya tiga partai sehingga mau tidak mau harus mematuhi. Kemudian pada tahun 1984, NU menyatakan mengundurkan diri dari PPP, sekaligus memberi keleluasaan kepada warganya untuk mengikuti partai yang mana, sehingga warga NU berpencar, ada yang bermukim di PPP, PDI bahkan di Golkar. Pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 membesarkan semangat rakyat Indonesia untuk membangun Demokrasi, rakyat secara luar biasa berupaya menumpahkan keinginannya untuk terlibat aktif dalam proses politik.[9]
Partai-partai baru yang muncul pada masa Reformasi yaitu lahirnya partai-partai menamakan diri sebagai partai Islam, tercatat kurang lebih 13 partai politik Islam yang telah berdiri. Namun dari ke-13 partai ini yang mendaftar dan lolos seleksi untuk ikut pemilu 1999 hanya 8 partai. Partai-partai tersebut ialah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam (PUI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Politik Islam Masyumi, Partai Keadilan (PK), Partai Persatuan(PP).
2. Ekonomi
Munculnya monopoli baru oleh orang Tionghoa (Cina)sebagai hasil dari kapitalisme, menimbulkan reaksi di kalangan pengusaha pribumi. Sistem kapitalisme Belanda pada saat itu juga seakan kokoh dengan dibentuknya perbankan yang dijalankan dengan sistem bunga(interest). Kondisi tersebut memunculkan kesadaran akan pentingnya pendirian lembaga perbankan yang memihak pada pribumi.
Pada tahun 1936, saat muktamar Muhammadiyah muncul pemikiran mendirikan bank yang diperuntukan bagi pribumi dan tidak bertentangan. Bunga Bank menurut Muhammadiyah adalah Mutasyabihat. Sedangkan menurut pendapat NU bahwa Bunga Bank adalah halal, jika memberi manfaat pada si peminjam. Sehingga pada tahun 1950 NU mendirikan dua Bank di Jakarta, tahun 1960 di Semarang, tahun1990-an NU mendirikan Perkreditan Rakyat. Pada tahun 1973 di Saudi Arabia berdiri Islamic Development Bank (IDB). Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut mendatangani kesepakatan pendiriannya.
Upaya merealisasikan Bank Islam ternyata juga mendapat tanggapan dari Majlis Ulama Indonesia (MUI), sehingga pada akhirnya dapat mendirikan Bank Muamalah Indonesia (BMI). Berdirinya BMI mendapat respon yang baik dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sehingga menjalin kerjasama dengan mendirikan PT. Manajemen Musyarakah Indonesia (MMI), dari kerjasama ini berhasil mendirikan Bank Perkreditan Syari’ah. Kemudian berdiri pula Bank Syari’ah Mandiri. Usaha ekonomi umat Islam tidak hanya berfokus pada bidang Perbankan. Lembaga keuangan Islam yang lain adalah Asuransi (Takaful) dan Pegadaian Syari’ah.
B. PERADABAN ISLAM DAN NEGARA PANCASILA
Suasana sosial politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara arus intelektual-aktivis Islam dan kelompok nasionalis. Hanya saja saat itu benturan-benturan tidak dapat dihindarkan antar kelompok Islam dan nasionalis. Tetapi tetap dilihat harmonis dengan cara para kelompok nasionalis tetap memegang kemudi kepemimpinan, menyusul kemudian diserahkannya kekuasaan oleh pihak Belanda kepada Republik Indonesia pada Desember 1949, dimana kelompok Islam mulai menunjukkan potensi yang besar dalam percaturan politik nasional.
Melalui Masyumi, sebuah federasi organisasi Islam yang kemudian diubah menjadi partai politik umat Islam pada 7 November 1945 kelompok Islam berhasil memobilisasi kekuatan politik cukup besar. Karena perkembangan demikian, pada awal 1946 Sultan Sjahrir ketua umum Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang tiga kali menjabat sebagai perdana menteri semasa revolusi memprediksi bahwa jika pemilihan umum diselenggarakan pada sekitar tahun-tahun itu, kemungkinan besar Masyumi yang pada saat itu merupakan gabungan kalangan Muslim modernis seperti ( Muhammadiyah, dengan jumlah anggotanya yang terbesar diwilayah perkotaan) dan kalangan muslim tradisionalis (seperti NU dengan jumlah anggotanya yang terbesar diwilayah pedesaan ) akan memperoleh kemenangan dengan meraih 80% suara.
Tidak ada perdebatan politik ideologis terbuka pada saat itu, hubungan politik yang relatif harmonis antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis harus benar-benar tercipta. Perkembangan demikian terus berlangsung selama hampir 5 tahun politik Indonesia pasca revolusi (antara 1950-1953). Ungkapan yang mencoba mempersoalkan Pancasila secara terang-terangan dari para pemimpin politik Islam juga jarang terjadi. Bahkan Mohammad Natsir, ketua umum Partai Masyumi yang di masa-masa sebelumnya kiat mengkampanyekan gagasan negara Islam, sekitar tahun 1951 menyatakan bahwa karena dimasukkannya prinsip “Percaya kepada Tuhan” ke dalam Pancasila, Indonesia tidak menyingkirkan agama dari masalah negara. Kenyataan ini menunjukkan perkembangan hubungan politik antara Islam dan Negara pada dasarnya relatif baik. Penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara tidak dianggap sebagai perwujudan keinginan untuk memisahkan agama (Islam) dari negara. Bahkan dengan dimasukkannya pernyataan “Ketuhanan Yang Maha Esa“ ke dalam dasar negara, Indonesia sudah dipandang seolah-olah sebuah “Negara Islam“. Hal ini merupakan sebuah ilustrasi yang dapat menggambarkan sikap para pemimpin Muslim tentang penerimaan mereka terhadap Pancasila.
Hubungan politik yang harmonis antara Islam dan Negara seolah-olah berakhir dengan memanasnya situasi politik tanah air karena persiapan pemilu yang direncanakan pada 1955. Perkembangan ini mengakibatkan kesepakatan ideologis yang dicapai sehari setelah proklamasi pudar. Para tokoh politik kelompok Islam dan nasionalis tampak menyadari bahwa langkah mereka mulai rentan. Karena alasan ini, para elit politik negara terlibat dalam perdebatan ideologis-politik mengenai bentuk negara dan kerangka konstitusionalnya. Dengan mengangkat kembali isu ideologi negara kedua kelompok politik berlomba memperebutkan jumlah kursi di Majelis Konstituante, dan dengan sendirinya mempertegas posisi politik masing-masing.[10]
Berikut adalah hasil peradaban Islam di Indonesia pasca kemerdekaan:
1. Bidang Pendidikan
Setelah Indonesia merdeka, penyelesaian pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha itu di mulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa madrasah dan pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat, kenyataan ini timbul karena kesadaran umat Islam yang lama terpuruk di bawah kekuasaan penjajah.
Sejarah bangsa dan negara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga sekarang, pemerintah menyesuaikan pendidikan dengan tuntunan dan aspirasi rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 31. Oleh sebab itu, pembatasan pemberian pendidikan disebabkan perbedaan agama, sosial, ekonomi dan golongan yang ada dimasyarakat tidak dikenal lagi. Dengan demikian, setiap anak Indonesia dapat memilih di mana dia akan belajar, sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. Dalam pasal 4 Tap MPRS No.XXVI/MPRS/1996 selanjutnya disebutkan tentang isi pendidikan, dimana untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan. Dengan landasan demikian, sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu.
Di Indonesia, Islam mempunyai peranan penting di bidang pendidikan. Sejak islamisasi di negeri ini telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan, khususnya pesantren dan surau yang telah menjadi benteng Islam yang demikian kuat berpengaruh. Kemudian muncul sistem madrasah yang merupakan usaha dalam pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam tanpa menghilangkan sistem pesantrennya. Pemerintah telah mendirikan madrasah dari tingkat dasar, menengah dan tinggi. Di samping itu pendidikan agama juga telah menjadi salah satu mata pelajaran penting di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Lembaga pendidikan tinggi Islam Indonesia telah berdiri sejak 1940. Kemudian berdiri lembaga pendidikan Islam yang di kelola oleh Negara dan swasta di seluruh Indonesia, seperti Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Indonesia (UII).
2. Bidang Politik
Sejak di tumpasnya peristiwa “G30 S/PKI” pada tanggal 30 Oktober 1965, bangsa Indonesia telah memasuki masa Orde Baru. Perubahan Orde Lama (sebelum 30 September 1965) ke Orde Baru berlangsung melalui kerja sama erat antara pihak ABRI atau tentara dan gerakan-gerakan pemuda yang di sebut Angkatan 1966. Pada tahun 1966, mahasiswa mulai melakukan demonstrasi memprotes segala macam penyalahgunaan kekuasaan, harga yang meningkat dan korupsi yang merajalela. Protes itu berkembang dan berujung protes terhadap Soekarno. Akhirnya pada tahun itu Soekarno didesak untuk menandatangani surat yang memerintahkan Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan guna keselamatan dan stabilitas negara serta pemerintahan.
Dekrit 5 Juli 1959, di samping mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante, juga menandai datangnya suatu sistem politik yang disebut Demokrasi Terpimpin. Dekrit ini lahir atas dasar kekecewaan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.
3. Bidang Budaya
Produk kesenian Islam di Indonesia sebenarnya sangat minim apabila dibandingkan dengan produk kesenian di negara Islam lain. Hal itu karena semangat yang mendorong muslim di negara lain untuk menciptakan pekerjaan besar tidak muncul di Indonesia. Kalaupun ada, biasanya hanya berasal dari pengaruh luar atau hanya berupa peniruan yang tidak begitu sempurna. Setelah bangsa Indonesia meraih kemerdekaan juga banyak berdiri masjid-masjid model baru yaitu masjid Raya Makassar (Ujung Pandang), masjid Syuhada (Yogyakarta), masjid Agung al-Azhar (Jakarta), masjid Istiqlal (Jakarta), masjid Salman ITB (Bandung).
Peran pemerintah dalam perkembangan Islam pasca kemerdekaan:
a) Hari-hari besar sebagai hari nasional, seperti 1 Muharrom, Maulid Nabi, nuzulul Quran, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri dan Idul Adha.
b) Mendirikan departemen Agama RI.
Dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia dibentuk Departemen Agama (dulu namanya Kementrian Agama). Yang pertama kalinya didirikan pada masa kabinet Syahrir untuk memberikan sebuah konsepsi kepada kaum Muslimin. Menteri agama pertama yaitu Muhammad Rasyidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret 1946.[11]
c) Membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI).
MUI didirikan pada masa pemerintahan Soekarno, berdiri pertama kali di daerah-daerah karena untuk menjamin keamanan. Di Jawa Barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1985. Pada tanggal 8 September 1969, di Jakarta didirikan Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII). Dan pada tanggal 26-29 November 1974 menyelenggarakan Loka Karya Mubaligh se-Indonesia. Tahun 1975 usaha-usaha dimulai untuk mendirikan Majelis-majelis ulama di tiap ibu kota provinsi di bentuk, atau bagi yang masih aktif diteruskan dalam rangka pembentukan majelis ulama yang baru. Sementara itu, di Jakarta di bentuk panitia Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia. Musyawarah itu sendiri dilangsungkan pada tanggal 21-27 Juni 1975, dihadiri oleh wakil-wakil Majelis Ulama propinsi. Dalam periode pertama (1975-1980) jabatan umum ketua Majelis Ulama Indonesia adalah Prof. Dr. Hamka yang terpilih kembali untuk masa jabatan 1980-1985. Namun beliau mengundurkan diri dari jabatannya pada bulan Mei 1981 karena persoalan fatwa “natal bersama”.[12]
d) Menyelenggarakan pengurusan ibadah haji dari tanah air.
e) Menetapkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
f) Melembagakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) secara nasional dari tingkat pusat sampai ketingkat desa, mendirikan dan meresmikan masjid, serta Badan Amil Zakat (BAZ).
g) Ikut serta dalam membangun kerukunan hidup umat beragama baik intern umat beragama serta antar umat beragama dan pemerintah.
h) Memberlakukan secara yuridis-formal sebagian hukum Islam, yaitu penyelenggaraan Peradilan Islam Indonesia, dengan Undang-Undang pada tahun1989.
4. Bidang Ekonomi
Indonesia sedikit tertinggal jika dibandingkan dengan negara Muslim lain dalam pendirian Negeri Syariah sebagai bentuk awal pertumbuhan ekonomi Islam di berbagai belahan dunia Islam. Indonesia baru mendirikan Bank Syariah pada tahun 1991 dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI). Namun baru bisa beroperasi pada tahun 1992.
Dari waktu ke waktu kondisi Bank Syariah Indonesia mengalami banyak perubahan. Pada akhirnya memunculkan lembaga bisnis Syariah, yang perkembangannya di Indonesia sangat pesat. Dalam bidang akademik, beberapa universitas terkemuka di Indonesia juga giat mengembangkan kajian akademik tentang ekonomi syariah. Hal itu ditandai dengan banyaknya lembaga pendidikan yang menawarkan program pendidikan formal maupun pelatihan dalam bidang Ekonomi Islam, Keuangan Islam dan Perbankan Syariah baik pada tingkat S1, S2, maupun S3.[13]
Melihat kondisi di atas maka pertumbuhan dan perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia semakin lebih baik, terutama pada era reformasi memberikan harapan dan menumbuhkan rasa optimisme serta semangat untuk mengembangkan Ekonomi Islam di Indonesia.
C. PERAN ISLAM DALAM KEMERDEKAAN
Kemerdekaan menurut Islam bukan hanya kemerdekaan individual, kehidupan kolektif maupun dalam bidang pemerintahan, tetapi kemerdekaan yang sangat tinggi harganya yaitu kemerdekaan universal dalam kaitannya antara dirinya dengan alam semesta. Inilah modal perjuangan yang mengilhami serta memperkuat kaum muslim Indonesia berjuang untuk meretas soverenitas yang dipaksakan oleh kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh Belanda yang berkedok atas dasar prinsip mission scare.
Kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia bukan semata-mata perjuangan seluruh rakyat, tetapi juga merupakan limpahan rahmat Allah SWT seperti dalam mukaddimah UUD 1945. Dalam hubungan aneka ragam agama dan seluruh kekuatan politik, umat Islam merasa puas dengan dicantumkannya “Ketuhanan yang Maha Esa“ dalam UUD 1945. Meskipun umat Islam dengan penuh toleransi rela penghapusan “tujuh kata“ pada sila pertama seperti yang termuat dalam piagam Jakarta. Hal ini berarti umat Islam telah memahami akan arti pentingnya persatuan sebagai syarat mutlak bagi terbinanya kemaslahatan seperti halnya “Piagam Madinah“ yang dibuat oleh Rasullullah karena adanya suatu pertimbangan bahwa “sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh ditinggalkannya” dan juga atas pertimbangan bahwa kemaslahatan yang general didahulukan daripada kemaslahatan special(khusus). Pemikiran yang serupa ini merupakan refleksi pemikiran yang berinteraksi dengan bimbingan Alqur’an dan Sunnah, sehingga terlihatlah faktor-faktor yang sangat penting dari kilasan pemikiran kaum muslim guna mencapai kemerdekaan RI. Dengan demikian terbentuklah negara Republik yang berdaulat, mempunyai wawasan dan strategi yang sangat penting bagi percaturan politik Internasional.[14]
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mendorong umat Islam mencapai kemerdekaan antara lain:
1. Faktor Ideologi
Ajaran Iman yang tertuang dalam hati kaum muslim Indonesia merupakan akidah yang kokoh, kuat dan berakar jiwa dalam jiwa mereka. Di dalamnya terkandung ajaran yang meletakkan kekuatan pada Maha Pencipta manusia serta alam dan isinya, terpancarlah keyakinan bulat akan kekuatan yang ada pada manusia merupakan amanah yang harus dilakukan sesuai dengan kehendak-Nya. Sikap serupa itu membuahkan gerak, tingkah laku dan perbuatan yang rela berkorban untuk menjunjung tinggi kebenaran ini merupakan faktor bagi tercapainya perjuangan kemerdekaan.
2. Faktor Politik
Ajaran Montesquieu, Voltaire, dan Jean Jacques Rousseau membuahkan Revolusi Perancis dan menyebabkan rasa cinta tanah air Les enfants de la Patri. Ajaran itu banyak di baca oleh pemuda bangsa Indonesia yang sedang belajar, sehingga menimbulkan pergerakan-pergerakan di kalangan kaum muslim, hanya saja niat ini belum dapat dicetuskan menunggu saat-saat yang baik sebagai peluang ditambah dengan semangat patriotris pahlawan-pahlawan kemerdekaan seperti Imam Bonjol, Diponegoro, dan sebagainya yang ikut mendobrak kekuasaan Belanda untuk mencapai kemerdekaan.
3. Faktor Ekonomi
Indonesia berada diantara dua benua yaitu Asia dan Australia, dan dua samudera yaitu samudera Hindia dan samudera pasifik, sehingga dalam strategi ekonomi merupakan lintas perdagangan yang sangat menguntungkan. Tanahnya yang subur di belah oleh sungai-sungai dan gunung-gunung merupakan sumber kekuatan ekonomi. Juga barang-barang tambang yang tersebar di nusantara, merupakan kekuatan yang mendukung bagi tercapainya kemerdekaan
4. Faktor Sosial
Indonesia terdiri dari aneka ragam suku yang didukung oleh aneka ragam susunan kemasyarakatan yang beraneka ragam nilai yang ikut memberikan alternatif yang sangat banyak bagi pembentukan nilai-nilai kemasyarakatan.
5. Faktor Budaya
Hampir seluruh hasil budaya yang berada di Indonesia dapat dipertahankan pada budaya yang terpancar dan kebudayaan yang pernah dipersatukan oleh Majapahit, dan inilah yang diyakini oleh bangsa Indonesia sebagai budaya asli. Islam membawa kebudayaan yang konkrit dalam amalan sehari-hari, seperti Akhlaqul karimah dikembangkan dan diamalkan untuk mewujudkan tata kehidupan yang harmonis sehingga dapat menempatkan pihak-pihak yang patut dihormati dan meletakkan nilai-nilai yang sebenarnya di junjung tinggi untuk dihormati. Ajaran-ajarannya menjunjung nilai dan martabat manusia sehingga manusia mengerti akan fungsi dan tugasnya.[15]
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan Islam di Indonesia pasca kemerdekaan telah mengalami guncangan di mana perseteruan antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam dan kelompok lainnya masing-masing berpegang teguh pada misi mereka untuk menjadikan negara Indonesia menjadi Negara Islam. Dengan timbulnya masalah ini, maka timbullah pergerakan-pergerakan, partai-partai dan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Islam. Hal tersebut dilakukan oleh Islam karena mereka kecewa dengan hasil keputusan presiden yang menjadikan dasar Negara Indonesia sebagai Negara Pancasila.
Suasana sosial politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara arus utama intelektual-aktivis Islam dan kelompok nasionalis. Peradaban Islam Indonesia Pasca Kemerdekaan menghasilkan kemajuan di berbagai bidang yaitu : bidang pendidikan, bidang ekonomi, bidang budaya dan bidang politik.
Islam mempunyai peran yang sangat penting dalam kemerdekaan. Islam merupakan agama yang meletakkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan bagi setiap pemeluknya. Ia mencakup berbagai aspek kehidupan manusia serta upaya menghidupkan pemahaman dan pemikiran terhadap kejadian alam semesta beserta seluruh isinya. Hasil peradaban Islam di Indonesia pasca kemerdekaan meliputi dalam bidang pendidikan, bidang politik serta ekonomi.
Kemerdekaan menurut Islam bukan hanya kemerdekaan individual, kehidupan kolektif maupun dalam bidang pemerintahan, tetapi kemerdekaan yang sangat tinggi harganya yaitu kemerdekaan universal dalam kaitannya antara dirinya dengan alam semesta. Faktor-faktor yang mendorong umat Islam mencapai kemerdekaan antara lain: faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
B. Saran
Setelah kita mengetahui sejarah perkembangan Islam pada waktu zaman kemerdekaan, maka kita dapat mawas diri sehingga kita sebagai penerima warisan sejarah dapat menyuburkannya dengan cara belajar dari sejarah, karena yang mempunyai peranan dan pemegang dalam estafet Negara tidak lain adalah kita sebagai anak cucu bangsa yang beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, M. Karim. 2005. Islam dan Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Sumbangsih Press Yogyakarta.
Abidin, Zainal Amir. 2003. Peta Islam Politik : Pasca Soeharto. Jakarta:LP3ES.
Ihza, Yusril Mahendra. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:Perbandingan Partai Masyumi (indonesia) dan Partai Jama’at -i-Islami (Pakistan). Jakarta:Paramidana.
Munir, Samsul Amin. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amzah.
Noer, Deliar. 1988. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990-1945, cetakan keempat. Jakarta:L3PES.
Haidar, Ali. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia:Pendekatan Fikih dalam poltik. Jakarta: Gramedia.
Syaefudin, Machfud dkk. 2013. Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis. Yogyakarta : Pustaka Ilmu.
Syafi’i, Ahmad Ma’arif. 1996. Islam dan Masalah kenegaraan : Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta:L3PES.
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam:Dirasah Islamiyyah II. Jakarta:PT Rajagrafindo Persada.
[1]Samsul Munir Amin. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amzah. h.408
[2]Zainal Abidin Amir. 2003. Peta Islam Politik : Pasca Soeharto. Jakarta:LP3ES. h. 27
[3]Zainal Abidin Amir. Op. Cit. h.33
[4]Yusril Ihza Mahendra. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:Perbandingan Partai Masyumi (indonesia) dan Partai Jama’at -i-Islami (Pakistan). Jakarta:Paramidana. h.185-188
[5]Deliar Noer. 1988. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990-1945, cetakan keempat. Jakarta:L3PES. h.76
[6]Ali Haidar. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia:Pendekatan Fikih dalam poltik. Jakarta: Gramedia. h.105
[7]Zainal Abidin Amir. Ibid. h.43
[8]Ahmad Syafi’i Ma’arif. 1996. Islam dan Masalah kenegaraan : Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta:L3PES. h. 75
[9]Zainal Abidin Amir. Op.Cit. hal 187
[10]Machfud Syaefudin dkk. 2013. Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis. Yogyakarta : Pustaka Ilmu. h. 301-303
[11]Badri Yatim. 2003. Sejarah Peradaban Islam:Dirasah Islamiyyah II. Jakarta:PT Rajagrafindo Persada. h. 306
[12]Badri Yatim. Ibid. h. 320
[13]Machfud Syaefudin dkk. Op.Cit. h. 315
[14]M. Abdul Karim. 2005. Islam dan Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta : Sumbangsih Press Yogyakarta. h. 59-63
[15] M. Abdul Karim. Ibid. h.67-69
0 comments:
Post a Comment