Selamat Datang di My Blog << Waroeng Alam is a Waroeng-e Alam >>

Saturday, April 1, 2017

Biografi Syekh Abdul Qodir Jaelani


Nama lengkap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah Syekh Muhiyuddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Janki Dusat bin Musa ats-Tsani bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsanna bin Amirul Mu’minin Abu Hasan bin Amirul Mu’minin Ali bin Ali r.a bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Madhar bin Nadzaar bin Ma’ad bin ‘Adann Al-Qurasyi Al-Alawi Al-Hasani Al-Jiili Al-Hambali.
Ibunya Syarifah Fatimah binti Sayid Abdullah Ash-Shuma’i az-Zahid bin Abi Jamaluddin Muhammad bin Sayid Thahir bin Sayid Abi al-Atha’ Abdullah bin Sayid Kamaluddin Isa bin Alaudin Muhammad al-Jawad bin Sayid Ali Ridha bin Sayid Musa al-Khadim bin Sayid Ja’far ash-Shadiq bin Sayid Muhammad al-Baqir bin Sayid Zainal Abidin bin Sayid al-Husain bin Sayid Ali bin Abi Thalib r.a. Ibu beliau Fatimah binti Sayid Abdullah meriwayatkan bahwa, “Setelah lahir, anakku Abdul Qodir tidak mau menyusu saat bulan Ramadhan. Oleh karena itu, jika orang-orang tidak dapat melihat hilal penentuan bulan Ramadhan, mereka mendatangiku dan menanyakan hal tersebut kepadaku. Jika aku menjawab; “Hari ini anakku tidak menyusui”, maka orang-orang pun mengerti bahwa bulan Ramadhan telah tiba. “Bahwa beliau bayi yang tidak menyusu pada bulan Ramadhan adalah sesuatu yang masyhur di Jilan. Dan beliau mengandung saat berusia 60 tahun.
Beliau adalah cucu dari Syaikh Abdullah Ash-Shauma’i, pemimpin para zuhaad dan salah seorang syaikh kota Jilan serta yang dianugerahi berbagai karomah. Al-Jailani adalah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal, seorang pendiri tarekat Qadiriyah yang dilahirkan di Naif, Jailan pada 1 Ramadhan 470 H./ 1077 M. Sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya. Kealimannya sudah tampak di masa bayinya. Ia tidak mau menyusu di siang hari pada bulan Ramadhan. Ia di didik dalam lingkungan besar lagi mulia, sesuai dengan nasab dan keturunannya. Ia digembleng dalam didikan kaum sufi yang hidup serba sederhana dan ikhlas. Kesibukan al-Jailani dalam upaya ruhaniah membuatnya asyik dan hampir lupa akan kewajibannya untuk berumah tangga. Pada akhirnya, di usianya yang ke-51 beliau menikah dan mempunyai empat orang istri. Dari keempat istrinya itu, al-Jailani empat puluh sembilan anak, dua puluh putra dan selebihnya puteri.
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan fisiknya beliau cenderung tinggi, tampak pada dirinya kemurahan hati dan istiqomah, dahinya lebar, kulitnya berwarna cokelat, rambutnya terurai sampai pundak, anggota tubuhnya harmonis, pandangannya yang tajam, tebal janggutnya sedang namun terurai panjang dan warnanya keabu-abuan, nyaring dan terdengar indah suaranya, memiliki pelafalan yang istimewa. Penampilan umumnya menunjukkan kesederhanaan yang menarik sebagaimana menunjukkan kebaikan, murah hati dan keindahan.
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani mengatakan kepada para pengikutnya bahwa dia masuk ke Baghdad dalam usia 18 tahun, dan pada tahun yang sama Abu Fadhl Abdul Wahid Al-Tamimi wafat yakni pada 488 H. Bagaimanapun pendapat yang paling shohih tentang kelahiran dan kewafatan Al-Jailani adalah yang diterangkan oleh Ibn Al-Jauzi bahwa Al-Jailani wafat pada malam Sabtu, 8 Rabi’ Al-Tsani tahun 561 H dan usiannya mencapai 90 tahun. Ini karena Ibn Al-Jauzi termasuk seseorang yang semasa dengan Abdul Qodir Al-Jailani. Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Khilaf, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu, Ilmu Tajwid, Ilmu Sharaf, Ilmu Arudh, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq dan Tasawuf. Beliau juga belajar kepada para ulama besar di zamannya, seperti Abu al-Wafa’ bin Aqil, Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abu al-Khatahab, al-Kalawazani dan Abu al-Husain Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya’la, Abu Zakariya at-Tibrizi, Abu al-Khair Hamad bin Muslim ad-Dibbas hingga ia mendapatkan ijazah dan kedudukan tinggi dari al-Qadhi Abu Said al-Mukharami. Bahkan al-Jailani juga belajar kepada Nabi Khidir a.s. selama tiga tahun. Satu tahun pertama beliau makan dan minum, tahun kedua hanya makan saja, dan di tahun ketiga beliau tidak makan dan tidak minum, hingga dinyatakan lulus belajarnya.
Setelah al-Jailani menamatkan pendidikannya di Baghdad, ia mulai melancarkan dakwahnya. Tepatnya ketika beliau sudah berumur 50 tahun. Abu Said al-Mukhrami menyerahkan pembangunan madrasah kepadanya. Kian hari, murid-muridnya bertambah banyak. Karena itulah, madrasahnya diperluas dan pembangunannya selesai pada tahun 528 H. Di madrasah ini juga, al-Jailani berjuang dengan sungguh-sungguh dalam mendirikan tarekat yang dinisbatkan kepadanya, yaitu tarekat Qadiriyyah.

0 comments:

Post a Comment